Ara Jehmen Kati Ara Besilo (ada zaman, baru ada sekarang)
Adalah sebuah pepatah dalam Suku Gayo. Ini adalah salah satu bukti bahwa orang Gayo mempunyai
tradisi dan peradaban yang tinggi dari zaman dahulu dan masih dipertahankan sampai sekarang. Di dalam adat suku Gayo, ada beberapa aturan mengenai pemanfaatan
hutan belantara untuk kehidupan bermasyarakat.
Jauh sebelum isu Global
Warming dan tentang emisi gas rumah kaca yang mengancam keberlangsungan
kehidupan umat manusia. Nenek moyang suku Gayo telah memikirkan cara pengunaan
hutan yang baik demi kehidupan umat manusia. Dalam adat orang Gayo pula, hutan
di bagi dalam beberapa bagian dengan sebutan, Blang Penjemuren, Blang
Perutemen, Blang Perueren, Blang Perempusen, dan Aih Aunen, sebuah
kearipan lokal yang mampu menjaga dan melestarikan hutan sumber kehidupan.
Blang Penjemuren
yang berarti sebuah tempat untuk menjemur padi sebelum dijadikan beras, Tempat
ini ada secara khusus bagi kaum wanita untuk menjemur padi, biasanya padi di
jemur baramai-ramai dari beberapa rumah tangga yang hanya di jaga dua gadis
agar tidak digangu binatang. Karena di dalam adat orang Gayo ada istilah “anak
ku anak mu” yang berarti perkumpulan anak gadis dan pemuda satu kampung
adalah milik bersama dalam mengunakan tenaganya, sebagai wujud rasa persaudaraan
kampung suku Gayo.
Tempat Blang
Penjemuren berada dipinggir daerah pemukiman suatu kampung yang berbatasan
langsung dengan hutan yang paling dekat dengan kampung tersebut, juga bisa di
sebut “Dewal”. Di sini juga dibuat
tempat padi yang sudah dipanen atau di sebut dengan “Keben”. Alasan kenapa padi ditempatkan di luar kampung, jika terjadi
sesuatu pada kampung seperti kebakaran maka padi bisa selamat sebagai makanan
pokok dalam mempertahankan kehidupan, “Keben “ juga berfungsi sebagai tempat
tidur para pemuda “Sebujang” beramai-ramai “ton nome sebujang” bila terjadi
sesuatu pada kampung maka para pemuda mudah di panggil karna mereka tidur pada
satu tempat.
Blang Perutemen
yang berarti suatu kawasan hutan untuk
mengambil kayu bakar “Utem”. Hanya dari
kawasan hutan inilah bisa mengambil kayu bakar dan kayu untuk keperluan lainya.
Syaratnya kawasan hutan ini tidak boleh berada di hulu sungai. Sehingga tidak
akan merusak sumber mata air. Dalam adat ini juga diatur agar tidak sembarangan
mengambil kayu di hutan “tebang pilih
kayu i uten kati selisih mara bahaya” menebang kayu di hutan harus
dipilih-pilih, tidak boleh sembarangan agar
bahaya bencana alam tidak terjadi.
Di kawasan hutan “blang Perutemen” inilah segala kayu yang
dibutuhkan bisa di ambil, seperti kayu untuk membuat rumah. Untuk mengambil
kayu mempunyai syarat tertentu baru bisa menebang. Bagi siapa yang mau menebang
harus kembali menanam jenis kayu tersebut sesuai dengan jumlah yang di tebang.
Bahkan sebelum menebang pun ada upacara
khusus yang bertujuan untuk meminta izin kepada pemilik dan penguasa di hutan
tersebut “empu ni tempat” yang biasa dipimpin oleh seorang pawang
hutan.
Blang Perueren
adalah kawasan hutan secara khusus untuk beternak, biasanya kawasan ini ditentukan
dari kesepakatan tokoh masyarakat yang diyakini bisa beternak sapi atau kerbau
yang tidak mengangu kebun milik masyarakat lainnya. Di kabupaten Gayo Lues daerah yang bernama Blang Nangka dahulunya ini
adalah kawasan “bur Perueren”. Bahkan, di kecamatan Pining masih bisa kita lihat sampai sekarang adalah “ bur perueren
Berang Salam”.
Blang Perempusen
adalah kawasan hutan yang dimiliki secara khusus oleh sebuah keluarga dalam usaha
mengolah lahan pertanian. Pada kawasan hutan ini dibentuk dan ditetapkan dari
hasil kesepakatan bersama masyarakat satu kampung untuk membuka tempat berkebun
dengan jumlah luas lahan tertentu.
Aih Aunen adalah
kawasan sungai yang berfungsi sebagai sumber air bagi kaum suku Gayo, selain tempat
mandi, sungai juga berfungsi dalam beberapa hal, termasuk dalam memenuhi sumber
makanan. Dalam aturan ini, sungai juga harus dijaga dan tidak menyebarkan
racun. Kenapa ini diangap perlu, karena banyak rumah tangga yang tak bisa memasang air
bersih ke dalam rumah, mereka menjadikan sungai sebagai sumber air minum. Para
janda dan anak yatim yang hidup di bawah gadis kemiskinan mengandalkan sungai sumber
makanan, seperti “mengegi, nyekot dan
rodok”. Dalam masyarakat suku Gayo,
sungai sebagai tempat mandi juga di bagi dua “Aunen Benen” tempat mandi khusus
wanita dan, “Aunen Rawan” tempat
mandi khusus Pria. di tempat mandi inilah beragam cerita kehidupan suku Gayo
bisa kita dapat.
Baca Juga, Budaya Orang Gayo dalam memanggil Hujan
Dalam aturan
perundang-undangan negara kita, hutan terbagi dalam beberapa jenis sesuai
dengan fungsinya, seperti hutan lindung, hutan produksi dan lain sebagainya. Hal
ini merupakan salah satu dari upaya kita dalam menjaga dan melestarikan kawasan
hutan. Meskipun demikian, jika kita tidak menggali dan mempelajari kearifan
lokal masyarakat setempat, maka usaha kita untuk menjaga hutan tidak akan
pernah cukup. Kearifan lokal masyarakat Gayo dalam menjaga kawasan hutan
apabila dijalankan, akan jauh lebih efektif untuk mendukung upaya pelestarian kawasan
ekosistem hutan Leuser.
Peradaban suku Gayo yang mayoritas tinggal dan hidup dalam
kawasan ekosistem Leuser semenjak zaman dahulu kala, jelas mempunyai adat dan aturan
yang sesuai menurut tatanan dalam upaya menjaga alam yang lebih arif dan
bijaksana. Ini hanya sedikit fakta dari cerita adat orang Gayo yang telah akrab
menyatu dengan alam.
Masih banyak aturan adat dari peradaban suku Gayo yang perlu
kita teliti dan dikaji lebih dalam. Hal tersebut menjadi sebuah kearifan lokal
yang dapat memberikan masukan kepada para pembuat kebijakan di Aceh. Sehingga
tetap mampu mengakomodir setiap kepentingan masyarakat yang tinggal di pinggir
hutan Leuser.
Baca juga, Leuser dan Harga Diri Orang Aceh
Penulis : Usman Ali
Noted : Blog sederhana ini menerima tulisan dari teman-teman konservasi.
![]() |
penulis |
Post a Comment