Tuesday, February 14, 2017

MENGEMBALIKAN TATA RUANG HUTAN LEUSER DALAM ADAT ORANG GAYO



Ara Jehmen Kati Ara Besilo (ada zaman, baru ada sekarang) 
Adalah sebuah pepatah dalam Suku Gayo. Ini adalah salah satu bukti bahwa orang Gayo mempunyai tradisi dan peradaban yang tinggi dari zaman dahulu dan masih dipertahankan sampai sekarang. Di dalam adat suku Gayo, ada beberapa aturan mengenai pemanfaatan hutan belantara untuk kehidupan bermasyarakat.


Jauh sebelum isu Global Warming dan tentang emisi gas rumah kaca yang mengancam keberlangsungan kehidupan umat manusia. Nenek moyang suku Gayo telah memikirkan cara pengunaan hutan yang baik demi kehidupan umat manusia. Dalam adat orang Gayo pula, hutan di bagi dalam beberapa bagian dengan sebutan, Blang Penjemuren, Blang Perutemen, Blang Perueren, Blang Perempusen, dan Aih Aunen, sebuah kearipan lokal yang mampu menjaga dan melestarikan hutan sumber kehidupan.


Blang Penjemuren yang berarti sebuah tempat untuk menjemur padi sebelum dijadikan beras, Tempat ini ada secara khusus bagi kaum wanita untuk menjemur padi, biasanya padi di jemur baramai-ramai dari beberapa rumah tangga yang hanya di jaga dua gadis agar tidak digangu binatang. Karena di dalam adat orang Gayo ada istilah “anak ku anak mu” yang berarti perkumpulan anak gadis dan pemuda satu kampung adalah milik bersama dalam mengunakan tenaganya, sebagai wujud rasa persaudaraan kampung suku Gayo.


Tempat  Blang Penjemuren berada dipinggir daerah pemukiman suatu kampung yang berbatasan langsung dengan hutan yang paling dekat dengan kampung tersebut, juga bisa di sebut “Dewal”.  Di sini juga dibuat tempat padi yang sudah dipanen atau di sebut dengan “Keben”. Alasan kenapa padi ditempatkan di luar kampung, jika terjadi sesuatu pada kampung seperti kebakaran maka padi bisa selamat sebagai makanan pokok dalam mempertahankan kehidupan, “Keben “ juga berfungsi sebagai tempat tidur para pemuda “Sebujang” beramai-ramai “ton nome sebujang” bila terjadi sesuatu pada kampung maka para pemuda mudah di panggil karna mereka tidur pada satu tempat.


Blang Perutemen yang berarti  suatu kawasan hutan untuk mengambil kayu bakar “Utem”.  Hanya dari kawasan hutan inilah bisa mengambil kayu bakar dan kayu untuk keperluan lainya. Syaratnya kawasan hutan ini tidak boleh berada di hulu sungai. Sehingga tidak akan merusak sumber mata air. Dalam adat ini juga diatur agar tidak sembarangan mengambil kayu di hutan “tebang pilih kayu i uten kati selisih mara bahaya” menebang kayu di hutan harus dipilih-pilih,  tidak boleh sembarangan agar bahaya bencana alam tidak terjadi.



Di kawasan hutan “blang Perutemen” inilah segala kayu yang dibutuhkan bisa di ambil, seperti kayu untuk membuat rumah. Untuk mengambil kayu mempunyai syarat tertentu baru bisa menebang. Bagi siapa yang mau menebang harus kembali menanam jenis kayu tersebut sesuai dengan jumlah yang di tebang. Bahkan sebelum menebang pun  ada upacara khusus yang bertujuan untuk meminta izin kepada pemilik dan penguasa di hutan tersebut “empu ni tempat”  yang biasa dipimpin oleh seorang pawang hutan.


Blang Perueren adalah kawasan hutan secara khusus untuk beternak, biasanya kawasan ini ditentukan dari kesepakatan tokoh masyarakat yang diyakini bisa beternak sapi atau kerbau yang tidak mengangu kebun milik masyarakat lainnya. Di kabupaten Gayo Lues  daerah yang bernama Blang Nangka dahulunya ini adalah kawasan “bur Perueren”. Bahkan, di kecamatan Pining masih bisa kita lihat sampai sekarang adalah “ bur perueren Berang Salam”.


Blang Perempusen adalah kawasan hutan yang dimiliki secara khusus oleh sebuah keluarga dalam usaha mengolah lahan pertanian. Pada kawasan hutan ini dibentuk dan ditetapkan dari hasil kesepakatan bersama masyarakat satu kampung untuk membuka tempat berkebun dengan jumlah luas lahan tertentu.


Aih Aunen adalah kawasan sungai yang berfungsi sebagai sumber air bagi kaum suku Gayo, selain tempat mandi, sungai juga berfungsi dalam beberapa hal, termasuk dalam memenuhi sumber makanan. Dalam aturan ini, sungai juga harus dijaga dan tidak menyebarkan racun. Kenapa ini diangap perlu, karena banyak rumah tangga yang tak bisa memasang air bersih ke dalam rumah, mereka menjadikan sungai sebagai sumber air minum. Para janda dan anak yatim yang hidup di bawah gadis kemiskinan mengandalkan sungai sumber makanan, seperti “mengegi, nyekot dan rodok”. Dalam masyarakat suku Gayo, sungai sebagai tempat mandi juga di bagi dua “Aunen Benen” tempat mandi khusus wanita dan, “Aunen Rawan” tempat mandi khusus Pria. di tempat mandi inilah beragam cerita kehidupan suku Gayo bisa kita dapat.





Dalam aturan perundang-undangan negara kita, hutan terbagi dalam beberapa jenis sesuai dengan fungsinya, seperti hutan lindung, hutan produksi dan lain sebagainya. Hal ini merupakan salah satu dari upaya kita dalam menjaga dan melestarikan kawasan hutan. Meskipun demikian, jika kita tidak menggali dan mempelajari kearifan lokal masyarakat setempat, maka usaha kita untuk menjaga hutan tidak akan pernah cukup. Kearifan lokal masyarakat Gayo dalam menjaga kawasan hutan apabila dijalankan, akan jauh lebih efektif untuk mendukung upaya pelestarian kawasan ekosistem hutan Leuser.
 
budaya saman, sebagai salah satu budaya yang berkaitan dengan pelestarian alam

Peradaban suku Gayo yang mayoritas tinggal dan hidup dalam kawasan ekosistem Leuser semenjak zaman dahulu kala, jelas mempunyai adat dan aturan yang sesuai menurut tatanan dalam upaya menjaga alam yang lebih arif dan bijaksana. Ini hanya sedikit fakta dari cerita adat orang Gayo yang telah akrab menyatu dengan alam. 


Masih banyak aturan adat dari peradaban suku Gayo yang perlu kita teliti dan dikaji lebih dalam. Hal tersebut menjadi sebuah kearifan lokal yang dapat memberikan masukan kepada para pembuat kebijakan di Aceh. Sehingga tetap mampu mengakomodir setiap kepentingan masyarakat yang tinggal di pinggir hutan Leuser. 





Penulis : Usman Ali
penulis
Noted : Blog sederhana ini menerima tulisan dari teman-teman konservasi.

Post a Comment

Start typing and press Enter to search